Terinspirasi dari kisah nyata seorang sahabat, beruntung dia masih selamat dari penyakit akibat Rokok. Tapi masih banyak orang lain yang tidak seberuntung dia. Selagi masih sehat, jangan pernah mencoba untuk merokok, yang sudah terlanjur merokok berhentilah sekarang juga!
“Bro
pulang sekolah mau kemana?”
“Belum
tau.” Jawab Iqbal saat berjalan kekelas
pagi itu. Iqbal adalah sosok cowok keren disekolah, hampir semua cewek normal
suka padanya, cowok pun ada beberapa.
“Ikut
gue aja yuk.” Ajak Erda teman sekelanya.
“Kemana?”
“Nongkrong
sama anak-anak lain lah. Jangan diem aja lo. Mau lo dibilang anak kuper.”
“Nggak
lah, ayo boleh aja.”
Saat
duduk dikursinya, iqbal langsung di sapa oleh Andien salah satu teman dikelas.
“Hai Iqbal, makin ganteng ajah.”
“Hai
Andien,” sifat iqbal yang kalem dan tidak sombong, membuatnya semakin disukai.
“Iqbal
aku duduk disebelah kamu ya hari ini.” Tiba-tiba Raisa datang dan langsung
duduk di kursi sebelah.
“Tap,
tapi kursi itu punya Faris.”
“Nggak
apa-apa, Faris lagi ngurus lomba karya ilmiah, jadi jarang masuk kelas.”
“Oh,
ya udah.”
Satu
lagi cewek bernama Tasya dari kelas sebelah datang membawa kotak makan. “Hai
Iqbal, tadi pagi aku bikin sandwich, aku sengaja bikin buat kamu, aku tau kamu
belum sarapan kan? Makan ya.”
“Iqbal
itu selalu sarapan sebelum berangkat sekolah kali.” Sahut Raisa dengan wajah
super bete.
“Buat
makan siang juga masih enak kok.” Tasya keras kepala.
“Udah
nggak enak lah.” Tiba-tiba Andien nimbrung.
“Oke,
makasih ya Sya.”
Beruntung
lonceng tanda pelajaran akan dimulai berdenting dari kejauhan, Tasya pun
beranjak pergi, “Dadah Iqbal!”
***
“Ayo!”
di depan kelas Erda sudah menunggu.
“Nongkrong
dimana sih bro?”
“Diwarung
babeh, dipinggir jalan raya sana. Ayo.”
Keduanya
berjalan santai di bawah terik matahari siang itu. Perlahan tapi pasti keduanya
pun sampai. “Hei,” ucap Erda menyapa kawan-kawannya yang sudah sesak memenuhi
warung berukuran 3x3 meter itu. Bau yang menyesakan dada langsung menusuk
hidung Iqbal, yap bau asap Rokok.
“Kenalin,
Iqbal, temen sekelas gue, pada tau kan?”
“Wih,
idola cewek-cewek disekolah nih.” Sahut seorang berambut urakan bernama Bono
sambil lalu menghisap rokok ditangannya.
“Haha,
bisa aja lo.” Ucap Iqbal agak kaku, sebelumnya dia memang jarang bergaul dengan
anak-anak perokok seperti ini.
“Sering-sering
ngumpul bareng kita, seru deh pasti.” Sahut cowok berkulit hitam dan berbadan
tinggi dari kejauhan.
“Bisa
diatur.” Jawabnya santai.
Erda
mengeluarkan sebuah kotak dari saku kemeja seragamnya, “Mau Rokok Bal?”
“Emh
Nggak, gue nggak ngerokok.”
“Ok.”
“Kenapa
lo nggak ngerokok? Cuma Banci yang ga ngerokok bro.” sahut Bono asal saja.
“Lain
waktu deh.” Jawabnya ragu-ragu.
Tidak
berapa lama masuklah sekumpulan murid, yang pasti bukan dari sekolah Iqbal,
terlihat dari bet lokasi di lengan atas seragam mereka, mereka terlihat membawa
sesuatu di dalam sebuah karung usang, datang lalu berbisik satu sama lain.
Mereka ngomongin apa ya?
Tanya Iqbal dalam hati. Kemudian dari luar seseorang masuk sambil berlari. “Woi
mereka dateng!” sontak warung babeh ramai dan mereka sibuk mengeluarkan sesuatu
yang ternyata senjata tajam, gear dan benda tumpul lainnya dari dalam karung.
“Bal
pegang ini, ayo keluar!” karena panik, ia pun berlari mengikuti Erda dengan
membawa sebilah samurai ditangannya. Benar saja sekelompok murid dari sekolah
lain, lewat dengan menggunakan truk. Tawuran pun terjadi. Iqbal berusaha
berlari menghindar, namun kepalanya malah terkena lemparan batu sampai
mengeluarkan darah.
Tidak
lama polisi datang mengamankan keadaan, Iqbal pun berakhir di kantor polisi
bersama murid-murid lain dengan bertelanjang dada, lukanya belum diobati.
“Puas
kamu tawuran begitu! Kayak orang bener aja, udah bisa apa kamu, sekarang luka
kan kepala kamu itu. Sakit kan!?” ia dicaci maki oleh salah satu polisi
bertampang sangar, karena bingung dan kesal, ia pun memilih diam. Setengah jam
yang terasa seabad, Iqbal berjongkok sambil menunggu para orang tua datang.
Saat ayahnya datang, tidak satu kata pun keluar dari mulutnya, wajahnya yang
mulai keriput terlihat kecewa, ibunya datang dengan bersimbah air mata. Sebelum
pulang, mereka pergi kerumah sakit untuk mengobati luka di kepala anak bungsu
mereka itu. Tepat diujung alis sebelah kanan, dibuat 3 jahitan lalu ditutup
perban.
***
Entah
kenapa suasana rumah menjadi semakin sunyi, rumah berukuran cukup besar itu
hanya ditinggali oleh mereka bertiga, kakak-kakak Iqbal yang keempatnya wanita
sudah berkeluarga dan memilih tinggal dengan suami mereka masing-masing.
Sesampainya
di dalam ruang tamu, ayah Iqbal langsung duduk di salah satu sova empuk, air
wajahnya masih sama dan tidak sepatah katapun terucap sejak tadi di kantor
polisi. Karena merasa bersalah, Iqbal pun memberanikan diri untuk meminta maaf,
disaksikan oleh ibu yang berdiri di belakangnya.
“Yah,
Iqbal minta maaf.” Sunyi sejenak.
“Kurang
apa sih kamu hah? Apa yang kurang ayah berikan buat kamu!” suaranya bergetar
dan tinggi, jantung Iqbal hampir copot, ia tidak pernah melihat ayahnya semarah
ini selama 15 tahun ia hidup.
“Yah,
iqbal bisa jelasin kok.”
“Sejak
kapan kamu ikut-ikut tawuran begitu? Apa gunanya?!”
“Yah,
Iqbal ga bermaksud ikut tawuran.”
“Masih
berani mengelak?” ucapnya lalu berdiri, wajahnya sampai memerah karena emosi.
Ibu
akhirnya angkat bicara, “Yah, Iqbal ga mungkin ikut tawuran.”
“Iqbal
ga mengelak Yah, Iqbal ga bermaksud ikut tawuran.”
Tanpa
disadari sebuah tamparan melesat ke pipi anak laki-laki satu-satunya itu,
“Terus senjata tajam ditangan kamu saat tawuran tadi itu apa?!” raungnya murka,
suaranya semakin bergetar. Rasa sakit dipipi tidak sebanding dengan rasa sakit
dihati Iqbal saat itu, ia marah karena ayahnya tidak mau percaya padanya, ia
marah pada kondisi yang menjadikannya seperti ini.
“Terserah
Ayah mau percaya atau nggak, yang jelas aku nggak bohong!” ucapnya keras, lalu
berjalan cepat menuju kamarnya.
“Anak
kurang ajar!”
“Ayah,
sudahlah, ini pasti hari yang berat untuk Iqbal, nanti darah tinggi Ayah kumat
gimana?”
Sementara
dikamar, Iqbal masih terbakar emosi. Ia benar-benar kecewa pada ayahnya yang
tidak sedikitpun mau percaya. Gue ini
anaknya, kenapa ayah sama sekali ga percaya. Hal yang sepertinya sudah lama
sekali tidak pernah terjadi, Air mata menetes dipipinya.
***
“Apa
maksud lo, hah?” saat Erda baru memasuki kelas, Iqbal langsung menarik kerah
baju dan mendorongnya sampai menabrak dinding, murid-murid lain langsung ramai.
“Bal,
gue sama sekali ga tau kalau bakal ada tawuran.”
“Bohong!”
“Bal
lepasin gue dulu gue ga bisa napas.” Ia pun melepaskan genggamannya.
“Sakit
jiwa kali lo ya!”
“Bal
gue berani sumpah, kemarin gue ga tau kalau bakal ada tawuran.”
“Terus
kenapa lo kasih senjata itu ke gue!”
“Gue
tau kemarin pertama kali lo terpaksa harus ikut tawuran, jadi gue kasih senjata
itu untuk melindungi diri lo.” Seakan pembelaan Erda masuk akal, ia pun
berjalan dan duduk kembali di kursinya.
Saat
pulang sekolah Iqbal berjalan menuju halte untuk menunggu bis, untuk menuju ke
halte, ia kembali harus melewati warung babeh, disana ia melihat Erda, Bono dan
murid-murid yang kemarin, seakan-akan tawuran itu tidak merubah mereka sama
sekali, tawuran yang bisa saja merenggut nyawa mereka, tapi mereka masih asik
tertawa. Bukannya ke halte, ia malah berjalan menuju warung babeh,
“Bal,”
Erda melongo melihat siapa yang datang.
“Sorry
yang kemarin ya Bro.” ujar Bono dari ujung ruangan.
“Santai
Bon.”
“Lo
ga balik Bal?” Erda bertanya sambil menghisap Rokok, Iqbal hanya diam. Lalu
mengambil sebatang Rokok dari dalam bungkus rokok milik Erda dan membakarnya.
“Gue
males balik,” ucapnya lalu mulai menghisap benda sepanjang 9 cm itu, awalnya
terbatuk karena belum terbiasa, tapi lama kelamaan ia bisa melakukanya,
Erda
dan Bono saling pandang penuh arti. “Kenapa orang rumah lo?” Erda memberanikan
diri bertanya.
“Percuma
aja gue pulang kerumah kalau ga ada lagi yang percaya sama gue.”
“Bokap
sama Nyokap lo?” ucap Bono sambil berjalan mendekat.
“Bokap.”
“Kalau
gue sama Bono udah terbiasa begitu,” Erda bercerita, “Orang tua gue udah lama
bercerai, ibu gue nikah lagi terus tinggal di Kalimantan, bokap gue yang ga
punya kerjaan tetap plus pemabok, hidup terjerumus, ga ada perempuan yang mau
sama dia, ngurus dia, jadi gue harus urus hidup gue sendiri, Rokok teman
terbaik gue saat ini.”
“Kalau
gue, gue nggak punya orang tua semenjak gue lahir, gue dibesarkan sama paman
gue, dia kerja dan pulang seminggu, bahkan dua minggu sekali, kerja ikut orang
katanya. Ternyata bosnya Bandar narkoba. Sekarang dia bahagia di penjara. Entah
kenapa, saat merokok pikiran gue jadi lebih tenang.” Bono mengakhiri.
Tanpa
terasa mereka mengobrol sampai matahari berganti bulan, bulan yang tertutup
awan karena hujan turun deras. Saat itu Iqbal sudah menghabiskan 3 bungkus
Rokok sendiri. Saat tiba dirumah, ibu tertidur didepan rumah menanti anaknya
pulang.
“Bu,”
“Iqbal,
kamu dari mana sih nak, jam segini baru pulang.”
“Iqbal
ada tugas kelompok bu,” ia berbohong. “Ibu ngapain tidur diluar?”
“Ibu
nunggu kamu lah,”
“Maafin
Iqbal ya bu lupa kasih kabar, ayah mana?”
“Ayah
keluar kota satu minggu, ada kerjaan proyek di Makassar.”
“Ibu
istirahat ya, Iqbal ke kamar dulu.”
“Kamu
udah makan?”
“Udah
bu.”
***
“Iqbal,
sekarang kamu ngerokok ya?” tanya Raisa sebelum jam pelajaran dimulai.
“Kamu
lihat dimana?”
“Kemarin
aku lewat warung babeh, aku lihat kamu.”
“Kalau
iya terus kenapa?” nada suaranya berubah sinis.
“Rokok
itu nggak baik Bal.”
“Untuk
saat ini benda itu yang terbaik Rai.” Raisa beranjak pergi dengan wajah murung,
tanpa berkata apa-apa lagi. Berikutnya seperti biasa Tasya yang datang.
“Hai
Iqbal!”
“Kenapa?
Mau nasehatin gue supaya berhenti merokok juga?!” ucapnya ketus.
“Kok
kamu ngomongnya begitu sih Bal. Iqbal berubah!” ucapnya lalu berlari
meninggalkan kelas, sepertinya ia menangis.
Kalau gue ngerokok, urusan apa sama
mereka, ucapnya dalam hati. Pulang sekolah seperti hari
sebelumnya ia berkumpul dengan Erda dan Bono di warung babeh, sampai malam hari
baru pulang kerumah.
Pada
satu malam Iqbal berpapasan dengan beberapa Banci yang sedang mengamen. Mereka
merokok. Ia terus pulang larut malam, begitu seterusnya Sampai seminggu
berlalu.
Wajah
Iqbal terlihat pucat seperti orang kurang tidur, semenjak kejadian pagi hari
seminggu yang lalu, baik Raisa, Tasya maupun Andien tidak ada lagi yang
memperlakukannya seperti dulu.
“Pulang
sekolah gue mau ngomong sama lo ya Bal.” ucap Faris yang sudah kembali dari
lomba Karya ilmiah.
“Ngobrol
apa? Ga bisa sekarang aja.”
“Nggak
bisa.”
“Kalau
gitu gue juga ga bisa nanti siang.”
Faris
langsung beralih memandang sahabat sejak di SMP-nya itu. “Lo kenapa sih?”
“Gue
nggak kenapa-kenapa.”
“Bal,
baru seminggu gue pergi, gue udah ngerasa kehilangan sahabat gue tau.”
“Gue
biasa aja.”
“Sekarang
lo ngerokok, apa sih masalah lo?”
Iqbal
melirik Faris sinis, “Lo pasti udah denger juga kan dari anak-anak.”
“Sedikit.”
“Lo
ga perlu tau lebih banyak lagi kok.”
“Bal,
terlepas dari masalah pribadi atau mungkin masalah dalam keluarga lo, jalan lo
memilih merokok itu salah.”
“Jangan
merasa jadi orang paling bener Ris.”
“Dalam
hal ini mungkin gue harus membanggakan diri karena gue tau lebih banyak dari lo.”
“Gue
tau apa yang gue lakukan.”
“Bal,
buka mata, telinga, hati, dan pikiran lo baik-baik mulai sekarang, Rokok ga
hanya berbahaya buat lo sendiri, tapi untuk orang-orang disekitar lo, Karena
perokok pasif lebih rentan terkena penyakit akibat Rokok ketimbang perokok
aktif. Buka mata lo, semua ada di buku, di internet. Buka telinga lo, dengerin
semua orang tau rokok itu berbahaya, lo pasti lebih sering denger bahaya rokok
ketimbang manfaatnya kan, pakai hati dan pikiran lo bro, tega lo bikin diri lo
bahkan orang lain menderita karena rokok. Kalau sampai lo sakit, apa orang tua
lo ga akan sedih, sejahat-jahatnya orang tua, mereka pasti peduli sama anaknya
Bal. Kalau lo kurang yakin, cari tau semuanya. Bikin diri lo yakin.”
“Udah
ceramahnya?” Faris menghela napas dalam, lalu memilih mengabaikan teman
sebangkunya itu.
Walau
bagaimanapun perkataan Faris berhasil masuk dalam pikiran Iqbal. Siang itu ia
tidak berkumpul bersama Erda dan Bono, ia langsung pulang dan mencari tahu
tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan akibat rokok, begitupun manfaatnya, lalu
ia bandingkan. Karena sudah kecanduan, ia tetap merokok beberapa batang di dalam
kamar, setelah itu entah kenapa ia jadi serang batuk.
Saat
makan malam bersama kedua orang tuanya Iqbal semakin sering batuk, meja makan
masih sangat sunyi, sampai setelah makan Ayah mulai bicara. “Ayah kira, kamu
akan berusaha membuktikan kalau kamu memang tidak bersalah.”
Iqbal
dan ibunya saling pandang, tanpa saling bicara, “Iqbal nggak bohong Yah.”
Bukannya menanggapi, Ayah malah beranjak meninggalkan meja makan, berjalan ke
kamarnya.
“Kamu
kayaknya kurang sehat nak? Badan kamu lebih kurus.” tanya Ibu melihat sosok
anaknya tercinta.
“Iqbal
baik-baik aja bu.”
“Kalau
kamu perlu sesuatu, panggil ibu ya.” Ibu pun ikut meninggalkan meja makan dan
menyusul ayah masuk ke kamar.
“Iya
bu.”
***
Entah
kenapa udara terasa begitu dingin, bukan karena diluar sedang turun hujan
lebat, atau karena AC ruangan, dinginnya sangat menyakitkan, seperti terkunci
dalam sebuah kotak sempit, sulit bernapas. Semuanya gelap.
“Iqbal
bangun, bangun nak!” seseorang di kejauhan memanggil, rasanya jauh sekali.
Semakin lama terdengar dua suara.
“Bal,
bangun bal.” suara yag lebih keras dan lantang.
Iqbal
pun berhasil membuka mata, tubuhnya basah oleh keringat, ia terus batuk,
batuknya kering dan terasa menyiksa. Sedetik kemudian ia muntah darah.
“Astagfirullahaladzim
Iqbal!” ibunya berteriak. Suara itu yang terakhir didengar, karena ia terjatuh
pingsan.
Beberapa
jam berlalu, ruang operasi belum juga terbuka, ayah, ibu dan kakak-kakak Iqbal
sudah menunggu terlalu lama. Menurut Dokter ia terkena Infeksi Flek pernapasan
karena ada cairan kental yang bersarang di paru-parunya, dan itu diakibatkan
oleh Rokok. Dokter berjanji melakukan yang terbaik, saat ini yang dilakukan
adalah melakukan operasi mengambilan cairan dari dalam paru-parunya.
Setelah
mendapat kabar. Faris, Erda dan Bono langsung berangkat ke rumah sakit, setelah
mendapat izin dari sekolah mereka.
Sambil
menunggu operasi, Erda meneritakan semuanya pada ayah dan ibu Iqbal, termasuk
soal senjata yang dipegang oleh anak mereka.
“Iqbal
bu,” Ayah tidak bisa menahan diri, ia pun menangis, begitupun dengan Ibu.
“Sabar
Yah, Kita berdoa saja semoga Iqbal bisa sembuh.”
“Ayah
menyesal bu, kenapa Ayah bisa tidak percaya sama anak sendiri. Ayah bukan orang
tua yang baik.”
“Ayah
sudah berbuat yang terbaik.”
“Ya
Allah, tolong sembuhkan anak hamba, angkat semua penyakitnya. Iqbal masih muda.
Masa depannya masih panjang Ya Allah. Amin.”
“Amin!”
Penantian
teramat panjang pun berakhir, pintu operasi akhirnya terbuka seorang Dokter dan
beberapa perawat keluar dengan wajah letih.
“Syukur
Alhamdulillah, bapak-ibu, operasi berjalan lancar. Setelah kondisinya normal
pasien akan segera dipindahkan ke ruang perawatan.”
“Alhamdulillah.”
Semua pun megucap syukur.
Setelah
dipindahkan ke ruang perawatan, Ayah dan Ibu menemani Iqbal yang masih
terbaring tidak sadarkan diri, dengan selang infuse yang tertancap di punggung
tangan dan selang bantu pernafasan terpasang dihidungnya.
“Iqbal,
maafkan Ayah ya, sekarang ayah percaya sama kamu nak. Seharusnya dari awal ayah
percaya.”
Perlahan-lahan,
Iqbal mulai bereaksi, jari-jari tangannya mulai bergerak, tidak lama, matanya
mulai terbuka.
“Kamu
sudah sadar Bal?” tanya Ayah hampir tidak percaya.
“Ayah-Ibu,
maafin Iqbal ya.” Keduanya pun langsung mengangguk.
“Iya
Bal, Ayah sudah maafkan, maafkan ayah juga yang tidak percaya sama kamu ya,
tapi ayah udah denger semuanya dari Erda, sekarang ayah percaya sama kamu,
semoga belum terlambat. Ayah minta maaf ya.”
“Ayah
ga perlu minta maaf.”
“Udah
ga perlu berebut untuk minta maaf, yang penting kita udah sama-sama memaafkan,
coba dari kemarin-kemarin seperti ini.” Ibu Menyimpulkan.
Mulai
hari itu Iqbal sudah tidak pernah lagi memegang Rokok apalagi menghisapnya,
cukup derita yang ia rasakan karena benda berukuran 9 cm itu, dan ia juga tidak
mau orang-orang yang ia cintai menderita karena asap Rokok. Berita baiknya
lagi, melihat perjuangan Iqbal terbebas dari penyakit, Erda dan Bono pun mulai
berhenti merokok, karena mereka mulai membuka mata, telinga, hati dan pikiran
mereka, kesehatan itu teramat mahal dan jika uang untuk membeli Rokok mereka
tabung, mereka bisa membeli apapun yang mereka inginkan. sulit memang tapi
bukanya tidak bisa. Mari hidup sehat tanpa Rokok.
The End